Pernah suatu sore, kami sekeluarga maen ke Mall Eastcoast yang terletak di kawasan Laguna (Surabaya Timur). Kita semua tau kan' Laguna Indah tuh kawasan perumahan kelas atas yang tertata rapi, asri dan tentu saja memiliki view yang indah. Sebagai penggemar fotografi, tentu saja tangan saya gatal untuk jeprat-jepret. Apalagi, saat itu kami bawa beberapa keponakan yang masih kecil-kecil, bisa jadi obyek foto gratis yang sayang untuk dilewatkan. Tetapi, pas lagi asyik-asyiknya memotret, tiba-tiba muncul security yang berniat mengusir kami dengan memperingatkan bahwa di lokasi perumahan tersebut dilarang memotret tanpa ijin. Walah, baru tau!!!
Di hari lain, pas kebetulan ada janji ama seorang teman di pusat perbelanjaan Supermal, saya sengaja parkir di area rooftop. Saat itu senja hari, lampu-lampu di kawasan Bukit Darmo Boulevard udah mulai menyala, sementara langit belum gelap meskipun matahari udah tenggelam. Seperti biasa saya mulai tergoda untuk menjepret dengan kamera DSLR saya. Sayapun segera bersiap-siap pasang tripod dan mengarahkan lensa ke kawasan Lenmarc yang ketika itu tampak gemerlapan. Eh, tiba-tiba muncul satpam yang berlari-lari kearah saya. Dengan tergopoh-gopoh, satpam itu meminta saya untuk tidak memotret tanpa ijin. Sedikit lebih sopan dibanding cara satpam yang di Laguna, tetapi tetap saya sangat tersinggung.
Belakangan saya baru tau, bahwa ada lokasi-lokasi tertentu di mana kita tidak diijinkan memotret kalo gak bayar. Wow, heran juga... Gimana bisa kita diharuskan membayar hanya untuk memotret, apalagi memotret dengan kamera milik sendiri.
Ketika iseng-iseng browsing di internet, saya menjadi lebih tau banyak, ternyata banyak banget tempat-tempat di pelosok kota Surabaya ini yang sudah dikomersialkan. Artinya, kita harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mengabadikan gambar dengan kamera. Dan tarifnya tentu saja gak bisa dianggap sepele. Mahal banget...., ratusan ribu bahkan jutaan.
Saya gak tau pasti, sejak kapan trend tersebut dimulai. Karena hobby fotografi saya kambuh juga baru-baru aja. Tetapi mari kita telusuri asal-usulnya...
Seperti yang kita tau, bisnis fotografi akhir-akhir ini sedang subur-suburnya. Kebutuhan orang untuk mengabadikan momen-momen penting seperti wedding, pre-wedding, ulang tahun bahkan hanya untuk sekedar foto single maupun couple sedang tinggi-tingginya. Banyak perusahaan maupun fotorafer perorangan penyedia jasa fotografi bermunculan, dari yang ecek-ecek sampai yang pro. Beberapa dari mereka memang memiliki skill dan naluri fotografi yang extra-ordinary dengan hasil karya yang menakjubkan.
Kalo kita simak, nilai honor yang dipatok sang fotograferpun dari masa ke masa semakin fantastis. Dulu waktu jamannya saya menikah, budget beaya dokumentasi mencapai 10% dari keseluruhan total beaya pernikahan sudah termasuk lampu merah. Sekarang, belasan bahkan puluhan jutapun orang mau bayar hanya untuk mengabadikan momen-momen tertentu ke dalam bentuk foto.
Akan tetapi, kalo kita mau jujur, keindahan sebuah foto tidak bisa lepas dari yang namanya lokasi pemotretan yang menjadi latar belakang sebuah hasil karya foto. Menurut opini saya, pihak pemilik venue yang biasa dijadiin lokasi pemotretan tentu saja merasa gak rela si fotografer meraup untung yang jumlahnya dari masa kemasa semakin gak masuk akal, sementara meraka hanya gigit jari aja. Tentu saja mereka juga merasa, lokasi pemotretan juga memliki nilai yang harusnya include pada hasil karya sebuah foto. Maka, lahirlah bisnis komersialisasi lokasi umum untuk acara pemotretan.
Namun yang sangat disayangkan, gerakan komersialisasi ini udah sangat mengkhawatirkan. Saya pernah coba survey di sebuah coffee shop kelas rata-rata yang terletak di sebuah lokasi perbelanjaan kecil di kawasan Surabaya Selatan. Mereka mematok Rp.500.000,- bagi para tamu hanya untuk sekedar memotret.
Saya warga Surabaya, saya cinta kota Surabaya ini dan tentu saja saya memiliki keinginan untuk mengabadikan keindahan setiap sudut kota saya ini ke dalam sebuah foto lewat kamera saya sendiri. Ada kebanggaan saat kita melihat hasil karya foto kita sendiri, meskipun tidak seindah karya para fotografer terkenal dan tentu saja jauh dari yang namanya komersialitas.
Tetapi, apa jadinya jika nanti setiap tempat indah di kota ini memiliki price list masing-masing?